UNAS, BERHALA DI DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA
Fatich Paradana Putra*
Setelah merayakan hari bersejarah dalam delematika pergolakan pendidikan Indonesia, yang sering kita sebut dengan Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan dengan tangga 2 Mei. Tepat 123 tahun setelah di ploklamirkan sejak tahun 2 Mei 1889 yang lalu. Berbagai peringatan hari pendidikan nasional telah di lakukan, berbagai pula selebrasi – selebrasi dan perayaan – perayaan yang telah di lakukan sebagai pemaknaan salah satu hak asasi rakyat Indonesia untuk memperoleh suatu haknya yaitu Pendidikan.
Memaknai sebuah kata suci yaitu pendidikan tentunnya yang terlintas pada pikiran kita ialah sebuah tindakan suci yang berlandaskan hati nurani untuk menyalurkan ilmu, membimbing, member teladan dari pendidik kepada anak didik yang nantinya ilmu itu untuk kebaikan bangsa kita pada umumnya, seperti tertera pada semboyan pendidikan kita yaitu “Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karso dan Ing Ngarsa Suntulodo”. Jika di artikan, Arti Tut Wuri Handayani ialah "mengikuti" namun maknanya ialah "mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa", dan makna "Handayani" ialah "mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, menggairahkan, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi". "Hing madiya (ditengah-tengah) bermakna "dalam interaksi atau pergaulan kehidupan bersama sehari-hari" dan "mangun karsa" bermakna "merangsang dan menggairahkan semangat dan daya aktivitas dan kreativitas pribadi sesama hidup". "Hing ngarsa" (di depan) bermakna "dalam menghadapi pandangan dan penilaian umu "sung talada" bermakna menjadi contoh dan teladan dengan mewujudkan secara konsisten dan konsekwen apa yang menjadi cita-citanya.
Pendidikan Indonesia saat ini. Secara kasat mata pendidikan di Indonesia saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, dari masa ke masa mengalami kemajuan karena memang itulah salah satu keistimawaan dari pendidikan itu selalu maju, menciptakan proges/inovasi dan pemikiran baru, jika tidak maka dalam pendidikan tersebut mengalami mesalah dan tidak efektif. Terlepas dari itu, jika kita melihat pendidikan indonesia dari sisi lain terlihatlah semua kebobrokan cantik dari pendidikan itu, salah satu yang mendapat sorotan tajam akhir-akhir ini adalah soal UJIAN AKHIR NASIONAL (UNAS), menurut data tingkat kelulusan SMA/SMP di Indonesia mencapai ±85-95% hal ini merupakan pencapaian yang sangat fantastis dan yang seharusnya bisa membanggakan untuk Indonesia tetapi dibalik itu ternyata terdapat intrik – intrik kotor dalam pelaksanaan UNAS dan soal pencapaian palsu itu.
UNAS sebuah kata sederhana yang menjadi agenda paling krusial pada proses pendidikan, biasanya kira – kira 5 bulan sebelum UNAS di laksanakan UNAS menjadi topic yang paling wajib untuk di bicarakan dan diperdebatkan di manapun itu, pada saat itu juga pada setiap lembaga pendidikan kegiatan pembelajarab khususnya untuk kelas 3 semakin dioptimalkan,les – les di jalankan dan larisnya lembaga – lembaga les privat yang kian menjamur. Setiap guru di depan siswa, selalu membicarakan tentang UNAS. Kepala sekolah sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan UNAS. Sementara siswa lebih suka merenung dan berdiam diri membayangkan seandainya dirinya tidak lulus. Ketika diadakan uji coba UNAS dan siswa yang tidak lulus menjadi bingung, putus asa, stres dan akhirnya menangis tanpa ada sebab yang jelas.
Kemampuan intelegensi siswa pastilah beragam, tetapi dalam menghadapi UNAS semua siswa di paksa untuk bisa mengerjakan soal yang sama ya, walaupun itu dalam satu wilayah. Sehingga dalam pelaksanaan UNAS tidak ada perbedaan antara sekolah kota dan desa, anatara anak orang kaya dan anak orang miskin. Ya tapi betapa sulit dan berat, mau tidak mau UNAS harus dihadapi semua siswa di seluruh Indonesia. Lebih mengherankan lagi bahwa guru -guru yang mengajar materi mata pelajaran UNAS, tidak boleh mengawasi pelaksanaan UNAS, tidak boleh masuk atau mendekati ruang UNAS, tidak boleh mengkoreksi hasil UNAS dan tidak boleh menilai hasil UNAS siswanya. Berarti guru-guru tersebut hanya boleh mengajar dan harus menanggung resiko apabila ada siswanya yang tidak lulus, serta harus mempertanggungjawabkan selama mengajar kepada kepala sekolah, siswa, orang tua siswa dan masayarakat sekitarnya. Hal itu yang memaksa setiap intansi lembaga pendidikan mengambil jalan yang seharusnya tidak selayaknya untuk dilakukan yaitu dengan melakukan segala bentuk kecurangan – kecurangan dalam pelaksanaan UNAS, seperti Guru membantu mengerjakan soal siswanya, guru memberi kunci jawaban kepada siswanya, guru membiarkan siswanya mencontek, guru membiarkan siswanya bekerja sama sesama teman dalam satu ruang bahkan kepala sekolah memberikan instruksi kepada pengawas ujian agar siswanya diberi kebebasan seluas-luasnya dalam mengerjakan soal-soal ujian dll.
Dari beberapa Model kecurangan semacam ini memberiu jaminan kelulusan siswanya sampai 100%. Sekolah yang lulus 100% bisa membanggakan kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Dengan demikian nama baik sekolah mendapat apresiasi positif oleh institusi yang lebih tinggi dan masyarakat sekitarnya. Apakah ini hanya sekedar untuk peningkatan reputasi dan taraf ketenaran sekolah, kepalasekolah,guru dan siswa semata ? mungkion inilah fenomena barhala baru dalam dunia pendidikan Indonesia yang sedang di puja dan di elu – elukan oleh kaum intelektual dan calon – calon intelektual Indonesia.
TERIMA KASIH ATAS SUMBANGAN ILMU :
1. Asim Sulistyo, S.Pd.
2. Drs. H. Ali Usman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar